Pengagungan Para Salaf terhadap Hadits
Faedah Ilmiah yang Berserakan (31)
Oleh :
Ustadz Abdul Qodir Abu Fa’izah, Lc.
_hafizhahullah_
[FP : @abu.faizah03]
Sebuah bentuk pengagungan dan pemuliaan Salaf terhadap sunnah, sebagian diantara mereka ada yang menganjurkan para penuntut
ilmu agar selalu memulai dengan thoharoh 'bersuci' (berupa wudhu',
atau mandi junub jika memang junub), sebelum memulai membaca
hadits-hadits Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-.
Seorang ulama mulia dari kalangan
tabi'in, Abul Khothhob Qotadah bin Di'amah As-Sadusiy Al-Bashriy
(tabi'in tsiqoh tsabt : wafat 110-an H) -rahimahullah- berkata,
يُسْتَحَبُّ أَنْ لاَ تُقْرَأَ أَحَادِيْثُ
رَسُوْلِ اللهِ _صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ_ إِلاَّ عَلَى طَهَارَةٍ
"Dianjurkan agar hadits-hadits
Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- tak dibaca, kecuali dalam kondisi
thoharoh 'bersuci'". [Atsar
Riwayat Abu Nu'aim dalam Hilyah Al-Auliya'
(2/335)]
Demikianlah pemuliaan para salaf
terhadap hadits-hadits Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- yang
berisi sunnah-sunnah beliau. Di dalamnya terdapat ilmu dan petunjuk bagi
kemaslahatan dan kebaikan manusia.
Mereka memahami betul bahwa hadits-hadits
tersebut sekedudukan dengan Al-Qur'an sebagai wahyu yang harus diagungkan dan
dimuliakan.
Imam Darul Hijroh, Al-Imam Malik bin
Anas Al-Ashbahiy amat menjaga kesucian jasad beliau dari hadats besar (dengan
mandi junub), dan hadats kecil (dengan berwudhu’) saat beliau akan mengajarkan
dan menyampaikan hadits kepada murid-muridnya, sebagai bentuk pemuliaan
terhadap hadits-hadits Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-.
Abu Salamah Al-Khuza’iy _rahimahulloh_
berkata,
كَانَ مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ إِذَا
أَرَادَ أَنْ يَخْرُجَ، لِيُحَدِّثَ تَوَضَّأَ وضُوءَهُ لِلصَّلَاةِ وَلَبِسَ
أَحْسَنَ ثِيَابِهِ، وَلَبِسَ قَلَنْسُوَةً، وَمَشَطَ لِحْيَتَهُ، فَقِيلَ لَهُ
فِي ذَلِكَ؟ فَقَالَ: «أُوَقِّرُ بِهِ حَدِيْثَ
رَسُوْلِ اللَّهِ _صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ_»
“Dahulu Imam Malik bin Anas bila ingin
keluar menceritakan hadits, maka beliau berwudhu seperti wudhu’nya ketika
hendak sholat, memakai pakaian yang paling bagus, menggunakan songkok, dan
menyisiri janggutnya.
Ada yang bertanya tentang hal itu.
Lalu beliau jawab, “Aku ingin memuliakan hadits Rasulullah _shollallohu alaihi
wa sallam_”. [Atsar Riwayat Muhammad bin Nashr
Al-Marwaziy dalam Ta’zhim Qodr Ash-Sholah (no. 731), Abu Nu’aim
dalam Hilyah Al-Auliya’ (6/318), AL-Baihaqiy dalam Al-Madkhol
Ila As-Sunan Al-Kubro (hlm. 392), Ar-Romahurmuziy dalam Al-Muhaddits
Al-Fashil (hlm. 585)]
Pemuliaan
terhadap hadits di kalangan para salaf adalah kebiasaan indah yang sudah
terwarisi dari satu generasi ke generasi lainnya.
Sebagian di
antara mereka, ada yang amat memperhatikan wudhu’ dan kesucian jasadnya saat
ingin membaca hadits-hadits Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-, dan
saat ingin mengajar dan membuat majelis yang di dalamnya dibacakan ayat-ayat
suci dan hadits-hadits.
Al-Imam Abu Isma’il Ash-Shobuniy _rahimahullah_ berkata,
مَا دَخَلْتُ بَيْتَ الْكُتُبِ قَطُّ إِلاَّ
عَلَى طَهَارَةٍ، وَمَا رَوَيْتُ الْحَدِيْثَ، وَلاَ عَقَدْتُ الْمَجْلِسَ، وَلاَ
قَعَدْتُ لِلتَّدْرِيْسِ قَطُّ إِلاَّ عَلَى الطَّهَارَةِ
“Aku tidaklah memasuki rumah kitab
(perpustakaan) sama sekali, melainkan (aku) di atas kondisi thoharoh (bersuci),
dan tidaklah aku meriwayatkan hadits serta tidak pula mengadakan suatu majelis
dan tidak juga duduk mengajar sama sekali, melainkan (aku) di atas kondisi
thoharoh (bersuci dari hadats).” [Atsar
Riwayat Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyq (2/431), Abu Ishaq
Ash-Shorifiniy dalam Al-Muntakhob min Kitab As-Siyaq li Tarikh Naisabur
(hlm. 139), Kamaluddin Ibnul ‘Adim dalam Bughyah Ath-Tholab fi Tarikh
Halab (4/1681), dan As-Subkiy Thobaqot Asy-Syafi’iyyah Al-Kubro
(4/275)]
Begitu besarnya
pemuliaan dan pengagungan mereka terhadits hadits-hadits Nabi -Shallallahu
alaihi wa sallam-, sampaipun di tengah kesibukan mereka mengajar, ada
diantara mereka yang berhenti sesaat dari mengajar demi menjaga wudhu’ dan
menyempurnakannya.
Dalam riwayat yang lain, Abdullah
bin Ali bin Ishaq Ath-Thusiy _rahimahullah_ berkata,
كُنَّا نَقْرَأُ عَلَى إِسْمَاعِيْلَ بْنِ
عَبْدِ الرَّحْمَنِ الصَّابُوْنِيِّ جُزْءًا، فَلَمَّا بَقِيَ مِنْهُ قَدْرٌ قَرِيْبُ،
قَامَ وَتَوَضَّأَ،
وَرَجَعَ وَقَالَ : "شَكَكْتُ
فِي الْوُضُوْءِ، فَلَمْ أَرَ لِيْ أَنْ أَكُوْنَ شَاكًّا فِيْ وُضُوْئِيْ، وَيُقْرَأُ
عَلَيَّ حَدِيْثُ رَسُوْلِ اللهِ _صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ_.
“Dahulu kami membacakan sebuah juz
kepada Isma’il bin Abdir Rahman Ash-Shobuniy.
Tatkala tersisa dari juz itu bagian
yang sedikit, maka beliau bangkit dan berwudhu’.
Beliau kembali seraya berkata, “Aku
ragu tentang wudhu’ku. Karenanya, aku pandang bahwa aku tak pantas ragu tentang
wudhu’ku, sementara itu dibacakan kepadaku haditsnya Rasulullah _shollallohu
alaihi wa sallam_.”
[Atsar Riwayat Kamaluddin Ibnul ‘Adim
dalam Bughyah Ath-Tholab fi Tarikh Halab (4/1680)
Demikianlah pemuliaan mereka
terhadap hadits-hadits Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-. Nah,
tentunya pemuliaan mereka terhadap Al-Qur’an Al-Karim, pasti lebih hebat lagi.
-------------------------------------------------------------
Selesai diedit ulang, 17 Syawwal
1439 H = 3 Juli 2018 M, hari pertama Dauroh Asatidzah, Masjid As-Sunnah, Ma’had
As-Sunnah, Jalan Baji Rupa, Balang Baru, Tamalate, Makassar.

Komentar
Posting Komentar