Lebih baik jadi Ekor dalam Kebenaran daripada Pemimpin dalam Kebatilan




Lebih baik jadi Ekor dalam Kebenaran
daripada Pemimpin dalam Kebatilan

Faedah Ilmiah yang Berserakan (25)

Oleh :
Ustadz Abdul Qodir Abu Fa’izah, Lc.
_hafizhahullah_
@abu.faizah03

Kepemimpinan bukanlah segalanya bagi para pencinta kebenaran. Kepemimpinan hanyalah bagian dari dunia yang semu dan hina.

Seorang hamba mukmin memiliki tujuan mulia, yaitu mengagungkan kebenaran, tanpa memedulikan posisi dirinya di depan atau di belakang, ia dimuliakan atau dihinakan.

Tugasnya, hanyalah menyampaikan kebenaran dengan sebaik-baik cara dan mengikuti konsekuensi dari kebenaran, sehingga jika ia pun ditinggalkan semua manusia, karena teguhnya ia mengikuti kebenaran, maka hal itu tidaklah membuatnya berkecil hati.

Seorang tabi’ut tabi’in, Ma'mar bin Rosyid Al-Azdiy Al-Bashriy (wafat 154 H) _rahimahullah_ berkata,
قُلْتُ لِحَمَادٍ : كُنْتَ رَأْسًا وَكُنْتَ إِمَامًا فِيْ أَصْحَابِكَ، فَخَالَفْتَهُمْ فَصِرْتَ تَابِعًا، قَالَ: إِنِّيْ أَنْ أَكُوْنَ تَابِعًا فِي الْحَقِّ خَيْرٌ مِنْ أَنْ أَكُوْنَ رَأْسًا فِي الْبَاطِلِ
"Aku katakan kepada Hammad, "Dahulu engkau adalah kepala dan pemimpin di kalangan sahabat-sahabatmu. Lalu engkau menyalahi mereka. Karena itu engkau pun menjadi pengikut?"
Hammad menjawab, "Sungguh aku menjadi pengikut dalam kebenaran lebih baik dibandingkan aku menjadi pemimpin dalam kebatilan".
[HR. Ali bin Al-Ja'ad dalam Al-Musnad (no. 357), dan Abu Ja’far Al-‘Uqoiliy dalam Adh-Dhu’afa’ Al-Kabir (1/305)][1]

Apalah gunanya seorang manusia yang diikuti sejuta fans, namun ia menyelisihi kebenaran.

Dirinya mulia di mata manusia, namun ia hina di sisi para pencinta kebenaran, bahkan di sisi Allah -Azza wa Jalla-.

Di zaman ini, banyak orang-orang yang diidolakan oleh manusia, namun ia diidolakan bukan di atas urusan mengikuti Al-Kitab dan Sunnah.

Ia diidolakan dan dikagumi di atas hawa nafsu, kesesatan, bid’ah, dan kekafiran!

Alangkah hinanya orang yang seperti ini. Ia diikuti oleh manusia dalam perkara yang hina. Layak apabila ia mendapatkan kehinaan di sisi Allah _tabaroka wa ta’ala_.

Allah _jalla wa alaa_ berfirman,

ﻟِﻴَﺤْﻤِﻠُﻮﺍ ﺃَﻭْﺯَﺍﺭَﻫُﻢْ ﻛَﺎﻣِﻠَﺔً ﻳَﻮْﻡَ ﺍﻟْﻘِﻴَﺎﻣَﺔِ ﻭَﻣِﻦْ ﺃَﻭْﺯَﺍﺭِ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻳُﻀِﻠُّﻮﻧَﻬُﻢْ ﺑِﻐَﻴْﺮِ ﻋِﻠْﻢٍ ﺃَﻟَﺎ ﺳَﺎءَ ﻣَﺎ ﻳَﺰِﺭُﻭﻥَ
“Mereka akan memikul dosa-dosanya dengan penuh pada Hari Kiamat, dan memikul dosa orang-orang yang mereka sesatkan, yang tidak mengetahui sedikit pun (bahwa mereka disesatkan). (QS. an-Nahl: 25)

Mujahid bin Jabr Al-Makkiy _rahimahulloh_ berkata dalam menafsirkan ayat ini,
"احتمالهم ذنوب أنفسهم، وذنوب من أطاعهم، ولا يخفف ذلك عمن أطاعهم من العذاب شيئا." اهـ من جامع البيان ت شاكر (17/ 190)
“Mereka menanggung dosa mereka sendiri dan dosa orang lain yang mengikuti mereka. Mereka sama sekali tidak diberi keringanan azab karena dosa orang yang mengikutinya.”
[Lihat Jami’ Al-Bayan (17/190), karya Abu Ja’far Ath-Thobariy]

Alangkah hinanya si pemimpin dalam kebatilan dan maksiat. Bukan hanya dosanya ia tanggung, bahkan ia juga menanggung dosa orang-orang yang mengikutinya dalam maksiat dan kebatilan sampai hari kiamat.

Rasulullah _shollallohu alaihi wa sallam_ bersabda,
)) ﻣَﻦْ ﺳَﻦَّ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺈِﺳْﻠَﺎﻡِ ﺳُﻨَّﺔً ﺣَﺴَﻨَﺔً، ﻓَﻠَﻪُ ﺃَﺟْﺮُﻫَﺎ، ﻭَﺃَﺟْﺮُ ﻣَﻦْ ﻋَﻤِﻞَ ﺑِﻬَﺎ ﺑَﻌْﺪَﻩُ، ﻣِﻦْ ﻏَﻴْﺮِ ﺃَﻥْ ﻳَﻨْﻘُﺺَ ﻣِﻦْ ﺃُﺟُﻮﺭِﻫِﻢْ ﺷَﻲْﺀٌ، ﻭَﻣَﻦْ ﺳَﻦَّ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺈِﺳْﻠَﺎﻡِ ﺳُﻨَّﺔً ﺳَﻴِّﺌَﺔً، ﻛَﺎﻥَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭِﺯْﺭُﻫَﺎ ﻭَﻭِﺯْﺭُ ﻣَﻦْ ﻋَﻤِﻞَ ﺑِﻬَﺎ ﻣِﻦْ ﺑَﻌْﺪِﻩِ، ﻣِﻦْ ﻏَﻴْﺮِ ﺃَﻥْ ﻳَﻨْﻘُﺺَ ﻣِﻦْ ﺃَﻭْﺯَﺍﺭِﻫِﻢْ ﺷَﻲْﺀٌ((
“Barangsiapa yang melakukan suatu perbuatan yang hasanah (baik) dalam Islam maka baginya pahala dari perbuatannya itu dan pahala dari orang yang melakukannya sesudahnya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun.
Barangsiapa yang melakukan suatu perbuatan yang buruk, maka baginya dosanya dan dosa orang yang melakukannya sesudahnya, tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun.” [HR. Muslim]



[1] Atsar yang sama, juga datang dari ‘Ubaidullah bin Al-Hasan Al-‘Anbariy (wafat 168 H) dalam riwayat Al-Khothib Al-Baghdadiy dalam Tarikh Baghdad (jld. 12/ hlm. 7/no. 5409), Asy-Syajariy dalam Tartib Al-Amali Al-Khomisiyyah (no. 360), dan Abu Thohir As-Silafiy Al-Ashbahaniy dalam Ath-Thuyuriyyat (no. 247).

Komentar