Ciri
Ketaqwaan pada Diri Seorang Hamba
Faedah
Ilmiah yang Berserakan (22)
oleh
:
Al-Ustadz
Abdul Qodir Abu Fa'izah, Lc.
-hafizhahullah-
@abu.faizah03
@abu.faizah03
Seorang hamba yang bertaqwa, bukan dinilai pada pengakuan dirinya atau pujian manusia. Namun
ia dinilai dari perangai dan sifatnya.
Diantara
sifat orang yang bertaqwa, ia mampu mengontrol hawa nafsunya, sehingga ia
tidaklah rakus terhadap dunia dan tidak pula terbawa oleh perasaannya, sehingga
ia mampu menahan marahnya.
Inilah
sifat mulia yang ada pada kaum bertaqwa, para pewaris surga yang akan
merasakan kenikmatan-kenikmatannya.
Tiada
yang mampu mewarisi sifat-sifat ketaqwaan, melainkan mereka yang diberi taufiq
untuk selalu ber-taqarrub kepada Allah -Azza wa Jalla- dan membenci
perkara-perkara yang dibenci Tuhannya, Allah -Tabaroka wa Ta'ala-.
Seorang
ulama kibar tabi'in, Al-Imam Bakr bin Abdillah Al-Muzani Abu Abdillah
Al-Bashriy (wafat 106 H) -rahimahullah- berkata,
لاَ
يَكُوْنُ الرَّجُلُ تَقِيًّا حَتَّى يَكُوْنَ بَطِيْئَ الطَّمْعِ بَطِيْئَ الْغَضَبِ
"Seseorang tak akan menjadi orang yang bertaqwa sampai ia
lambat kerakusannya dan lambat marahnya".
[HR. Abu Nu'aim dalam Al-Hilyah (2/225)]
Seorang
yang bertaqwa selalu mengontrol dirinya dari sifat marah yang tercela, karena
ia mengerti bahwa sifat marah seringkali menyeret seseorang untuk jauh dari
kebaikan, dan terjatuh dalam dosa.
Di
dalam dirinya terdapat sifat “hilm” (santun) dalam bersikap. Ia selalu
berhati-hati dan pelan dalam mengambil sikap. Ia selalu memperhatikan
kemaslahatan dari sikapnya.
Jika
ada kemaslahatan dan kebaikan bagi dirinya dalam urusan akhiratnya, maka ia pun
mengambil langkah positif.
Akan
tetapi bila di dalam sikapnya, justru timbul darinya madhorot dan perkara
negatif bagi akhiratnya, maka ia mundur dari sikapnya tersebut.
Hamba
yang "muttaqin" (yang bertaqwa) senantiasa menghias diri dengan sifat qona'ah
(merasa cukup dengan kebaikan dan nikmat yang ia dapatkan dari Allah), sehingga
dengannya ia tidak rakus mengejar dunia yang akan melalaikannya dari mengingat
Allah dan menunaikan hak serta kewajiban yang ada di pundak.
Jika
ia mendapatkan nikmat dan anugerah dari Allah, maka ia gunakan dalam ketaatan,
bukan harta dan nikmat itu ditumpuk dan dibangga-banggakan, atau digunakan
dalam hal foya-foya atau maksiat!
Tidak!
Sama sekali tidak! Hidupnya hanyalah dalam meraih pahala di negeri akhirat dan
mengejar keridhoan Tuhan-nya.
……………………………………….
Selesai
diedit ulang, 22 Romadhon 1439 H, Masjid Al-Ihsan, Jalan Likukang, Bontomanai,
Kec. Bonto Marannu, Gowa, Sulsel.

Komentar
Posting Komentar